Konsep membaca bagi para santri bukan merupakan perkara baru, karena didalam Al Quran sendiri sudah ada ayat yeng menerangkan tentang perintah membaca, yaitu ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW surat Al-Alaq 1-5 yang isinya :
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan kalam, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”
Perintah untuk membaca dalam ayat ini merupakan perintah kepada Rasul SAW yang selanjutnya menjadi perintah kepada umatnya. Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan. Baik membaca secara etimologi, yakni membaca huruf-huruf yang tertulis maupun membaca secara termilogis yakni membaca dalam arti yang luas, maksudnya membaca alam semesta. (DR. Yusuf Q, 1998 : 235) Dengan ayat dalam Al-Qur’an itu, maka jelas bagi kita bahwa perintah untuk membaca tidak berasal dari orang tua, guru ataupun pemerintah, tetapi langsung dari Tuhan. Guru dan orang tua hanya mengembangkan minat dan budaya membaca.
Jadi membaca sebenarnya bukan hal yang baru dikalangan santri, karena membaca dapat memperkaya pengetahuan santri baik dalam hal keagamaan maupun wacana umum dalam pengenalan akan dunia luar. Kebiasaan membaca mampu menyuburkan daya kritik dan pengembangan bakat serta kegemaran para santri, seperti yang selama ini dilakukan oleh sekolah pada umumnya.
Oleh karena itu, membaca dikalangan santri harus juga mendapat perhatian khusus dikalangan pondok pesantren, karena halnya yang terjadi di lapangan bahwa mayoritas santri membaca hanya dengan motivasi ujian atau hanya untuk memenuhi kewajiban dalam hal pendidikan formalnya. Maka penumbuhan kesadaran akan membaca bagi kalangan santri hendaknya tidak hanya dibatasi dalam bidang keagamaan ataupun pendidikan formal saja, namun lebih luas daripada itu. Karena para santri juga membutuhkan wawasan luas. Bagaimanapun kelak mereka akan hidup bermasyarakat, dengan pola sosialisasi yang begitu jauh berbeda dengan kehidupan pondok pesantren.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Jussuf Kalla di dalam harian Banten On Line yang mengatakan bahwa minat baca ditumbuhkan harus dengan paksaan, jadi pesantren harus lebih keras lagi untuk memupuk minat baca santri melalui integrasi ustad serta kyainya dengan mawajibkan budaya membaca dan menulis di kalangan santri, terlebih lagi pada buku yang bersifat Non-Keagamaan.
Diakui atau tidak, pondok pesantren telah sejak lama mengajarkan serta
membudayakan minat baca dan belajar. Tak hanya itu, tradisi menulis pun
seakan telah menjadi tradisi di lembaga pendidikan tradisional khas
Indonesia itu. Tetapi pada kenyataannya, berdasarkan pengalaman, budaya ini hanya terbatas pada bidang agama, utamanya membaca kitab-kitab yang diajarkan oleh pondok pesantren. Jarang sekali pondok pesantren memaksa para santri untuk membaca buku yang berisifat non keagamaan, apalagi dengan padatnya waktu kegiatan, makin menipiskan kesempatan para santri guna membaca buku no-keagamaan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terkait dengan masalah waktu dan kepadatan jadwal keseharian para santri, maka dapat dikatakan bahwa jadwal kegiatan belajar mengajar para santri cukup padat. Sehingga diasumsikan waktu mereka tersita untuk melaksanakan rutinitas yang telah menjadi ketetapan, dan akhirnya sedikit kemungkinan untuk melakukan hal–hal yang dianggap tidak bermanfaat, mengingat kesadarannya akan pentingnya membaca masih sangat rendah bagi masyarakat kita.






0 komentar:
Posting Komentar