Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat hingga saat ini dalam mengembangkan pendidikan santri, tidak hanya pada bidang keagamaan, namun juga pada bidang – bidang umum keilmuan. Karenanya lembaga ini dianggap memiliki keunggulan tersendiri dibanding lembaga pendidikan pada umumnya.
Saat ini di Indonesia terdapat ribuan lembaga pendidikan Islam yang terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Menurut data terakhir Tempo (21 september 2009) departemen agama mencatat ada sedikit 21.000 pesantren di seluruh tanah air, dengan hampir empat juta santri, angka ini meningkat empat kali lipat dalam 20 tahun terahir, atau dua kali lipat dalam enam tahun belakang ini.
Pondok pesantren juga dapat dikatagorikan secara sederhana dalam dua kutub yaitu salafi dengan modern, dimana tiap pesantren mempunyai ciri khas dan wajahnya sendiri, ada yang memberi tekanan pada ilmu fikih dan ada yang mumpuni dalam mengajarkan bahasa arab. Tak sedidikt juga yang menekankan ilmu tasawuf, atau menonjolkan dalam teknik hafalan Al Quran, ataupun sekedar menulis kaligrafi. Demikian halnya dengan segala sistem dan sarana penunjang yang diperkenankan dimanfaatkan oleh santri. Semuanya harus sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pihak pengelola pondok pesantren dan pimpinan (kyai). Tidak lain halnya dengan sarana penunjang pembelajaran yang berupa perpustakaan. Dalam hal ini, perpustakaan pondok pesantren memiliki peran yang penting dalam meningkatkan wawasan keilmuan para santri.
Adanya tuntutan modernisasi, menjadikan banyak pondok pesantren secara berbondong-bondong menerapkan pola pengajaran yang mengadopsi kurikulum pendidikan nasional dengan mengajarkan materi-materi keilmuan non keagamaan.
Seperti yang diungkapkan oleh Dhofier (1985:50) bahwa pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Sedangkan pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum (non-keagamaan) sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi.
Dengan kondisi yang demikian, maka pondok pesantren berusaha menyediakan berbagai literatur bidang non-keagamaan di antaranya melalui perpustakaan pondok pesantren. Adapun fungsi utama perpustakaan adalah untuk membangkitkan dan meningkatkan minat baca. Melalui program-program yang dibuatnya, perpustakaan dituntut untuk menjadi pelopor guna menarik masyarakat agar dekat dengan sumber informasi. Dalam hal ini pustakawan berperan sebagai agen perubahan untuk menciptakan masyarakat membaca.
Dalam mengembangkan perpustakaan pondok pesantren, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) bersama Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau asosiasi pesantren se-Indonesia pada tahun 2008 mempunyai agenda memberikan bantuan untuk 25 pesantren terpilih guna mendapatkan sumbangan sekitar 250 judul buku dan kitab guna pengembangan perpustakaan pesantren, tidak hanya itu, dan rencananya pada tahun ini bantuan akan di tingkatkan. Pihak PNRI dan RMI juga akan mengadakan pelatihan pengelolaan perpustakaan untuk pesantren yang menerima bantuan.
Pengembangan peran perpustakaan pesantren untuk menumbuhkan minat baca santri juga terjadi pada perpustakaan “A.Wahid Hasyim” Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Perpustakaan ini melibatkan seorang pustakawan yang mengelola manajemen perpustakaan secara sistematis dan profesional, sehingga diharapkan akan meningkatkan minat baca santri dan siswa secara terarah. Selain itu, gedung perpustakaan tidak akan lagi bersifat sentralistik, karena di setiap unit sekolah (SMP, SMA, MTs, dan MA) akan dibangun ruang perpustakaan. Ini merupakan rencana untuk menunjang program yang mewajibkan para siswa/santri untuk membaca minimal satu buku setiap minggu dan membuat ringkasan isi buku yang dibacanya.
Seperti halnya yang terjadi di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, pondok pesantren ini juga memiliki perpustakan pesantren yang tidak hanya menyediakan buku-buku agama, namun juga menyediakan buku-buku kedokteran, bahasa, sastra, sosial, ekonomi dan lain lain, meskipun jumlahnya lebih sedikit dari pada buku-buku keagamaan.
Hingga saat ini, Perpustakaan Sidogiri tidak hanya menjadi rujukan santri Sidogiri. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, banyak mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang sedang menyelesaikan skripsi datang ke Perpustakaan Sidogiri untuk mencari referensi. Secara garis besar, koleksi Perpustakaan Sidogiri bisa dikelompokkan dalam empat jenis:
1. Kitab (buku-buku berbahasa Arab). Jumlah koleksi jenis kitab mencapai sekitar 70 % dari total koleksi Perpustakaan PPS.
2. Buku (buku-buku berbahasa selain Arab).
3. Koleksi serial (majalah, jurnal, surat kabar, buletin). Koleksi serial Perpustakaan Sidogiri umumnya berbahasa Arab dan Indonesia, tapi adapula yang berbahasa Inggris.
4. Koleksi audio-visual (kaset, video CD dan software). Jenis koleksi audio-visual umumnya berupa rekaman ceramah, pidato dan kuliah-kuliah pengetahuan. Sedangkan CD software umumnya berupa eksiklopedi dan kumpulan khazanah pengetahuan Islam. (Sumber: http://m.kompas.com)
Tidak berbeda dengan perpustakaan Pondok Pesantren Sidogiri, perpustakaan PP Al-Amanah Al Fathimiyyah Bahrul Ulum Jombang juga menyediakan berbagai koleksi dengan persentase 69% bidang agama dan 31% bidang umum. Perpustakaan ini juga menyelenggarakan upaya untuk membina perilaku gemar membaca dengan mengadakan beberapa kebijakan, di antaranya:
1. Melakukan diferensiasi koleksi yaitu dengan menyediakan koleksi yang beragam, baik berupa kitab-kitab (buku berbahasa arab), novel, maupun majalah.
2. Mengadakan bursa buku yang bekerjasama dengan beberapa penenbit lokal.
3. Mengadakan promo on air di radio-radio
4. Mengadakan lomba anggota teraktif.
Melalui kebijakan-kebiijakan tersebut, ternyata perpustakaan mampu menarik minat santri untuk mengunjunginya sehingga terjadi kenaikan jumlah pengunjung yang cukup signifikan di perpustakaan ini.






0 komentar:
Posting Komentar