News Update :

Anatomi Orang Modern

Modern, menurut Mochtar Buchori (Kompas, 3 Juli 1989), berasal dari kata Latin modernus yang berarti "yang tepat, yang sesuai dengan ukuran". Akar katanya ialah mod yang berarti "mengambil langkah-langkah yang tepat, yang sesuai dengan ukuran". Dari akar kata itu terbentuklah katakata lain seperti modus yaitu "ukuran", model ya.ng berarti "contoh, yang menurut ukuran, yang dapat ditiru", modicum yang bermakna "sesuatu dalam ukuran atau jumlah kecil", dan moderat dalam arti "yang masih dalam ukuran, bukan yang ekstrem".

Kalaupun kata modern tidak bisa dikatakan mengalami distorsi (perusakan makna), maka yang terjadi sedikitnya adalah pendangkalan makna. Sebab dalam perkembangannya kata "modern" kemudian berubah arti menjadi "yang baru" atau "yang mutakhir", dan "yang sesuai dengan selera atau gaya masa kini". Dan karena ke-modern-an atau modernitas kemudian dipahami hanya sebagai kebaruan, kemutakhiran, kesesuaian dengan gaya atau selera yang sedang populer dalam masyarakat. Maka orang tidak lagi mempersoalkan ketepatan, kesesuaian dengan kebutuhan, kesesuaian dengan standar atau ukuran yang sudah ditentukan. Bahkan tidak lagi dipertanyakan apakah yang baru dan populer itu lebih baik atau justru lebih jelek dari yang lama yang digantikannya. Akibat pendangkalan makna tersebut, banyak orang mengidentifikasikan modernitas dengan sajian koki-koki Kentucky, California, Wendy, atau "American Warteg" lainnya. Modern berarti bekerja dengan komputer, menggunakan telepon genggam, berlibur ke Paris, New York, Melbourne atau Amsterdam. Modern berarti berganti nama dari Poniran menjadi Johny, Inem m,enjadi Mince, atau membuang kaset-kaset irama keroncong dan dangdut untuk digantikan dengan kaset-kaset metal yang memekakkan telinga tetangga kirikanan. Modern berarti olah raga harus di Country Club Cinere atau Fitnes Center di Pantai Mutiara, dan seterusnya.

Identifikasi modernitas dengan atribut-atribut yang sesungguhnya lebih bersifat ornamental (jadi tidak esensial) itu lebih mencerminkan "kegagapan" menghadapi arus deras perubahan yang melanda'seluruh penjuru dunia (baca: globalisasi). Hal mana terjadi karena segala sesuatu yang baru itu tidak disikapi dengan filterisasi atau proses seleksi berdasarkan ukuran-ukuran atau standar, ketepatan dan kesesuaian dengan kebutuhan dan adaptasi, melainkan diterima dengan semangat taken for granted.
Penerimaan secara membabi-buta terhadap segala unsur baru yang muncul, baik dari dalam (lokal, domestik), maupun dari luar (Amerika, Eropa atau Jepang) sangatlah mungkin disebabkan oleh ketiadaan model panutan yang menunjukkan anatomi orang modern sejati. Dalam perspektif yang demikian rumusan Profesor Alex Inkeles, sosiolog dari Universitas Harvard, menjadi penting untuk disimak.

Inkeles menuturkan sembilan ciri atau kriteria orang modern (Djunaidi: Kompas, 1 Desember 1991), yakni: Pertama, orang modern mempunyai sifat terbuka terhadap perubahan-perubahan dan mengakui bahwa hari esok sangatlah mungkin berbeda dengan hari kemarin. Tidak terlalu optimis akan berada di papan atas selamanya, namun juga tidak terlalu pesimis akan tetap terinjak di lapisan bawah seumur hidup.
Kedua, orang modern mampu mempunyai opini terhadap masalah-masalah yang timbul di luar lingkungannya. Suatu hal yang menuntut perluasan wawasan terus-menerus tanpa harus kehilangan tempat berpijak.

Ketiga, orang modern berorientasi pada masa sekarang dan masa depan, sehingga tic&k menjadi tawanan masa lampau. Berani melakukan trial\ and error agar tidak mandeg, tidak "gttmunan Ian kagetan" (heran dan mudah terkejut). Orang yang terjangkit post-power syndrom bukanlah orang modern.

Keempat, orang modern menganggap planning and organizing merupakan cara untuk menjalankan kehidupan. Orang yang bertindak hanya dengan insting (reaktif) dan tak mampu duduk diam merencanakan dan mengorganisasi sumber daya miliknya dengan sendirinya termasuk kuno dan akan segera masuk ke museum mengikuti jejak dinosaurus.
Kelima, orang modern memiliki keyakinan bisa mempengaruhi, bukan dipengaruhi dan didikte oleh lingkungan sekitarnya. Mereka yang tidak mengembangkan otot-otot proaktifnya tidak layak disebut modern.

Keenam, orang modern punya kepercayaan dalam diri karena ada sesuatu yang bisa diperhitungkan atau calculable dan bukannya ditentu- kan oleh orang per orang ataupun nasib-nasiban. Para tiran dan diktator berikut fans-nya, serta mereka yang dipenjara oleh ramalan para dukun, tak memenuhi syarat menjadi orang modern.
Ketujuh, orang modern menghargai dirinya dan nilai orang lain. Artinya, jiwa budak dan suka memperbudak bertentangan dengan jiwa orang modern.

Kedelapan, orang modern punya keyakinan akan faedah ilmu pengetahuan dan teknologi, bukannya ramalan dan angan-angan kosong.

Terakhir, orang modern memiliki kepercayaan terhadap apa yang disebut "distributive justice" yakni hasil yang diperoleh semata-mata akibat jasa yang diberikan dan bukan oleh sebab-sebab lain. Mereka yang mendapatkan faedah sematamata karena koneksi, relasi, hubungan keluarga, dan mereka yang memperoleh kemudahan serta fasilitas bukan dari hasil kerja keras, peras otak, sebenarnya tak ada kaitan sama sekali dengan orang modern, betapapun berkilau dan menterengnya mereka di mata lingkungan.

Uraian di atas menegaskan kembali bahwa jantung dari modernitas sesungguhnya bersifat idiil: ia merupakan sesuatu yang melekat pada cara kita berpikir, yang kemudian muncul dalam pandangan, sikap, dan perilaku atau tindakan kita. la lebih ditentukan oleh peta mental atau paradigma seseorang.

Saya percaya bahwa orang modern tidak dilahirkan begitu saja. Karena semua ciri orang modern yang diutarakan Inkeles itu, satu per satu dapat dipelajari, dapat ditumbuH-kembangkan dan dibangun melalui pengetahuan, latihan, pendidikan, pengalaman dan pergulatan hidup. Dan dengan demikian setiap orang memiliki potensi untuk menjadi manusia modern.(Di kutip dari buku: SUKSES TANPA GELAR)
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright NANTAKU 2010 -2011 | Design by DuaKutub | Published by Tangga Karir | Powered by Blogger.com.